Headline Rumah69 :
Home » , , , » Sindrom Depresiasi Rupiah

Sindrom Depresiasi Rupiah

Written By Unknown on Selasa, 20 Agustus 2013 | 10.51

Beberapa hari ini kurs Rupiah terhadap Dolar AS sedang panas tinggi. Dikatakan panas karena semakin melebar jika dibandingkan dengan asumsi kurs (benchmark) dalam APBN-P sebesar Rp.9.600/USD. Jadi kalau Rupiah/USD belakangan ini mulai doyan nangkring di atas Rp.10.000/USD mau diakui atau tidak itu tanda-tanda indikasi kepanasan. Belakangan bank sentral menyebutnya kurs sedang membentuk/menuju level keseimbangan baru.

Apa yang membentuk tren depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS dalam beberapa waktu belakangan ini, sepertinya lebih merupakan fenomena puncak gunung es (tip of the iceberg). Artinya menggambarkan suatu masalah yang nampak hanyalah sebagian kecil saja dari problem yang lebih besar. Kecenderungan kurs Rupiah yang terdepresiasi sudah terlihat sebagai fenomena jangka menengah. Pola tersebut terlihat sejak tahun 2011 hingga 2012. Tahun 2012 kurs Rupiah terhadap USD rata-rata melemah ke Rp.9.358/USD dibandingkan tahun sebelumnya (2011) Rp. 8.768/USD. Terakhir Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa pelemahan kurs dipengaruhi oleh tingginya permintaan valas oleh nasabah korporasi/retail, termasuk untuk keperluan repatriasi deviden dan hasil investasi.

Melihat kondisi tersebut, tampaknya memang tidak mudah untuk bisa cepat menenangkan kurs. Dibutuhkan langkah-langkah yang sistematis, menggabungkan tindakan jangka pendek dengan jangka menengah. Itupun syaratnya, koordinasi sektor perdagangan, sektor finansial dan sektor investasi bisa bergerak simultan. Bentuk-bentuk intervensi pasar yang dilakukan bank sentral, selain mengikuti arus permintaan valas, hanya bersifat peredam jangka pendek. Selebihnya fenomena depresiasi kurs yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan bahwa fundamental stabilitas makro moneter domestik yang masih rapuh. Inilah risikonya kalau tatanan perekonomian nasional, baik disektor keuangan/perbankan dan sektor riil mulai didominasi oleh asing, kalau tidak mau dikatakan tergantung asing. Penulis menafsirkan itu dengan memperhatikan kalimat pernyataan bank sentral terkait permintaan valas untuk repatriasi deviden dan hasil investasi. Adapun tindakan-tindakan jangka pendek seperti mendorong transaksi-transaksi di pelabuhan menggunakan Rupiah bisa dipandang sebagai langkah positif, meski diduga efeknya tidak akan terlalu signifikan menenangkan kurs.

Untuk itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk dapat menjinakkan kurs dalam jangka menengah. Tekanan yang teramat besar pada neraca perdagangan mengindikasikan perekonomian Indonesia sangat tergantung pada impor. Perlu ditelaah lebih dalam, mengapa ketergantungan sektor riil terhadap import content (kandungan impor) masih juga tinggi. Ketergantungan sektor riil di dalam negeri akan impor barang modal dan barang antara tampaknya tak pernah surut. Menjadi masalah berarti, jika komoditas yang dihasilkan dari kandungan impor yang relatif tinggi dijual di dalam negeri. Bayangkan struktur ongkos produksinya terinfeksi depresiasi kurs, sedangkan barangnya dijual di dalam negeri (dalam Rupiah). Pola semacam itu tidak kondusif bagi upaya membangun ketahanan kurs melalui penguatan devisa, sedangkan disisi lain konsumen domestik juga harus ikut menikmati inflasi yang diimpor (imported inflation) karena depresiasi kurs secara otomatis akan mempengaruhi harga barang yang diimpor.

Untuk urusan impor barang konsumsi mungkin tekanannya sudah mulai melambat, pemerintah secara agresif sudah mulai melakukan pembatasan terhadap impor barang-barang konsumsi. Meski langkah inipun sangat tergantung kelestrariannya pada prilaku konsumsi masyarakat di dalam negeri. Kelestarian sprit mengkonsumsi barang produksi dalam negeri juga harus sejalan dengan kemampuan pelaku usaha domestik dalam menyediakan (memproduksi) barang dengan harga yang kompetitif dan berkualitas. Jika tidak pasti solusinya impor lagi.

Urusan lalu lintas hubungan keuangan internasional juga menunjukkan pola yang tidak terlalu kondusif bagi upaya mempertahankan kestabilan kurs. Utang luar negeri swasta misalnya, terus menunjukkan tren peningkatan. Tahun 2009 posisi utang luar negeri swasta diperkirakan baru mencapai 73 Miliar USD. Akhir tahun 2012 posisi utang luar negeri swasta sudah mencapai 125 Miliar USD. Peningkatan utang luar negeri swasta secara positif seharusnya berkorelasi dengan kemampuan ekspor Indonesia, lain halnya jika utang tersebut digunakan untuk menghasilkan barang yang pada akhirnya terserap untuk pasar domestik. Utang luar negeri swasta juga berkorelasi dengan permintaan valas terkait pembayaran pokok dan cicilan utang luar negeri, kondisi ini diperkirakan akan semakin memperlemah kekuatan kurs Rupiah terhadap USD jika tidak dikelola dengan hati. Jangan sampai terjadi utang luar negeri jangka pendek dipakai untuk untuk investasi jangka menengah dan jangka panjang, kondisinya bisa seperti krisis moneter tahun 1998.

Tekanan permintaan valas (USD) saat ini memang sedang memuncak, kondisi yang ada mengindikasikan istilah sederhana tidak seimbangnya antara pemasukan devisa dengan pengeluaran devisa. Kebutuhan valas terutama terkait impor BBM dan impor barang-barang konsumsi yang harganya tidak stabil di dalam negeri akhir-akhir ini. Belum termasuk permintaan valas untuk impor barang modal dan barang antara oleh sektor swasta serta pembayaran pokok dan bunga cicilan utang luar negeri swasta serta pemerintah. Kondisi yang ada semakin parah dengan kecenderungan meningkatnya permintaan valas oleh nasabah korporasi/retail serta repatriasi deviden hasil investasi investor asing (non residen). Uang memang tidak mengenal kewarganegaraan, bebas masuk dan bebas keluar.

Pada sisi pemasukan devisa kondisinya memang tidak terlalu baik. Melemahnya harga komoditas ekspor Indonesia adalah satu diantara sekian banyak penyebab. Belum lagi jika kita membedah siapa sebenarnya pelaku ekspor kita, jangan-jangan sebagian besar adalah milik investor asing di dalam negeri. Kalau kondisinya seperti itu neraca perdagangan kita hanyalah catatan semu bagi upaya memperkuat cadangan devisa.



Acuviarta Kartabi*

*)Penulis adalah Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan, juga merupakan
Executive Director di Acuviarta and Partners
Dan merupakan pengajar senior di lingkungan universitas negeri dan swasta.








Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Terkini

Baca Juga ...



Flash Labels by NBT

Paling Banyak Dilihat ...

topads

Buku Tamu


Kalkulator KPR

Jumlah Kredit: Rp. 
Jangka Waktu:  tahun
Bunga:  %
 
RUMAH 69 - All Rights Reserved